“Sebelum pandemi, jumlahnya nol,” kata Reza Cordova, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penelitian tersebut, kepada CNA. Reza memperkirakan kini dengan munculnya varian Delta yang lebih ganas, jumlah masker bekas yang mencemari lingkungan bisa meningkat dua kali lipat.
“Dibandingkan saat awal pandemi, masyarakat sudah lebih sadar akan pentingnya memakai masker, dan masker kini lebih mudah didapat,” ujarnya.
“Masyarakat bisa memakai dua atau tiga masker sehari jika seharian keluar rumah. Namun pemerintah tidak menawarkan cara bagi kami untuk menghilangkannya.”
Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan masker memiliki risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan jenis limbah medis lainnya.
“Dengan banyaknya orang yang melakukan isolasi di rumah, masker menjadi masalah besar. Saat masker bersentuhan dengan pasien COVID-19, bisa dipastikan masker tersebut terkontaminasi virus corona. “Mereka yang menemukan masker ini juga berisiko tertular,” kata penasihat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia itu.
“Masker ini harus dibuang dengan benar. Jika tidak, virus dapat bertahan hidup di udara terbuka selama tiga atau empat jam. Di dalam, virus bisa bertahan selama delapan jam. “Jika berada di ruangan yang lembab dan sempit serta bertumpuk dengan benda menular lainnya, misalnya di tempat sampah atau tempat pembuangan sampah, virus dapat bertahan selama dua hingga tiga hari.”
LIMBAH MEDIS Sulit untuk dilacak
Ketika masalah limbah medis meningkat, pelacakan tempat pembuangan akhir menjadi sebuah dilema.
Vivien, Direktur Jenderal PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan pemberian izin sementara bagi rumah sakit dan izin pabrik semen untuk membakar limbah medis seharusnya cukup untuk mengatasi masalah meningkatnya limbah infeksius.
Setidaknya cukup untuk mengelola limbah medis yang dihasilkan fasilitas kesehatan, ujarnya. “Limbah medis tidak boleh berakhir di tempat pembuangan sampah.”
Namun kenyataannya, limbah medis—termasuk yang dihasilkan oleh berbagai fasilitas kesehatan—telah mencapai angka tersebut berbagai tempat pembuangan sampah.
Saat berkunjung ke TPA Burangkeng di Kabupaten Bekasi, CNA menemukan kantong plastik berwarna kuning cerah berlambang bahaya biologis dan tulisan “sampah menular” di kaki tumpukan sampah. Tas itu kosong.
Tak jauh dari kantong kuning itu, terdapat tumpukan botol infus kosong, sebagian masih terpasang selang dan kateter. Obat-obatan serta hasil scan rontgen panggul seseorang bersembunyi di antara tumpukan sampah yang sama. Ada pula botol kosong berukuran lima liter yang awalnya digunakan untuk menampung cairan hemodialisis.